Senin, 12 April 2010

Dua Jiwa

Jiwa
Itu identitasku sekarang. Tanpa tubuh. Melayang dan berkelana kemanapun aku mau. Sudah dua tahun aku seperti ini. Sejak sebuah mobil tanpa belas kasihan menghantamku di pertigaan jalan Sudirman. Sebentuk cincin berlian yang siap ku sisipkan di jari manis tunanganku menggelinding dan masuk parit. Aku tak berdaya untuk mengambilnya karena tiba-tiba saja aku hanya sebentuk kehidupan tanpa raga.
Kadang aku lapar. Tapi lapar yang abstrak. Aku tidak mampu untuk memenuhinya. Kadang aku haus tapi itu juga haus yang abstrak, dan lagi-lagi aku tidak bisa menuntaskan dahaga yang terus bergelora. Jiwaku hampa. Tak terasa tubuhku melayang terbawa angin ke sebuah rumah sakit. Perlahan aku menyusuri lorong rumah sakit. Selain aku ternyata banyak jiwa-jiwa yang berkeliaran di sana. Jiwa-jiwa yang mati penasaran. Tapi aku berbeda dengan mereka. Aku bukanlah jiwa yang penasaran. Tidak ada hal di dunia fana yang tidak sempat aku tuntaskan. Sehingga membuat aku penasaran. Atau jangan-jangan karena aku tidak sempat menyematkan cincin buat tunanganku itu.
Tubuhku perlahan menembus salah satu ruang. Bukan suatu kesengajaan sebenarnya. Tapi aku lebih percaya dengan tubuh abstrakku ini. Insting. Ruangan itu sepi. Seorang pasien terbujur tertutup selimut bergaris-garis sebatas dada. Alat bantu pernapasan terpasang, menutup hidung dan mulutnya. Monitor heart rate tampak memunculkan gelombang-gelombang kecil nyaris tak terlihat.
Aku mengamatinya, muka yang pucat seolah tak ada setetes darah pun di situ. Kugenggam tangannya tanpa maksud apa-apa. Lagi-lagi cuma naluri. Ada percikan listrik seolah menyengatku. Entah kenapa aku tertarik dengan tubuh ini. Tubuhku melayang di atas tubuh pemuda itu. Ada keinginan kuat yang tiba-tiba saja menghantam keinginan rohku ini. Kuposisikan tubuhku, pelan;pelan kucoba rasuki tubuh yang baru pertama kali aku lihat ini. Sama seperti tadi ada percikan-percikan listrik menjalariku. Tapi aku bertahan. Kucoba menyatukan jiwaku dengan raga ini. Seluruh aliran darah. Seluruh gumpalan otot.seluruh organ-organ di tubuhnya. Segenap pikiran yang di milikinya. Ternyata tidak terlalu sulit. Aku terdiam mencoba merasakan sensasi di tubuh baruku. Tubuh ini telah kukuasai secara penuh. Semuanya.
Aku menghirup napas sekuat yang kubisa, memompakan sejumlah udara untuk memenuhi paru-paruku.
Perlahan kubuka mataku. Bukan, bukan mataku tapi matanya yang telah menjadi milikku. Sensasi kegembiraan menyeruak di hatiku. Sensasi yang telah lama tidak kurasakan.
Melihat.
Warna.
Bentuk.
Kugerakkan tanganku kuusap lembut selimut yang menutup tubuhku. Kusibak dan aku mencoba untuk bangun. Aku mencabut selang pernapasan dan selang yang menusuk pergelangan tanganku. Aku melangkah pelan, sensasi yang luar biasa.
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang perempuan berseragam putih muncul. Ia terperangah. Baki di pegangannya terlepas. Tanpa ampun sejumlah obat pun tercerai berai, berserakan.
Aku menarik pinggir-pinggir bibirku. Melangkah, membuka pintu dan meninggalkannya yang masih terpaku.
“ Siapa kamu? Pergi dari tubuhku” satu suara mengancam, mengerang lemah.
“ Aku pemilik tubuh ini sekarang.” Aku membalas ancaman jiwa yang lain, ternyata ia masih ada. Baru kurasakan sekarang. Tapi aku tidak mau pergi, raga ini harus jadi milikku. Aku bosan menjadi jiwa tanpa raga.
“ Ini tubuhku dan aku tidak akan membiarkan kau menguasainya,” nada mengancam kembali bergema.
“ Kita lihat saja,” aku sudah lama menjadi jiwa, aku bisa menguasai situasi.
Tugas pertamaku adalah mencari tahu identitas pemuda ini. Tanganku bergerak ke arah saku belakang. Entah keteledoran petugas rumah sakit atau memang mungkin cuma masalah waktu saja, ternyata masih ada dompet di saku celananya. Aku berjalan keluar dari rumah sakit menyusuri trotoar yang tidak terlalu ramai. Kubuka dompet itu dan kuambil selembar kertas dari situ.
Nama Riyadi Sidik
Pekerjaan Guru.
Alamatnya aku perhatikan baik-baik dan aku hapalkan. Mungkin langkah terbaik buatku saat ini adalah masuk ke kehidupan orang ini. Orang yang raganya telah aku kuasai. Kukeluarkan dua lembar ratusan ribu dari dompet itu dan aku melambaikan tangan ke sebuah taksi yang menuju ke arahku.
“ Jangan...” suara lirih itu bergema.
“ Kenapa? Aku yakin kamu tidak pernah naik taksi kan?” aku merasa tertantang untuk mengintimidasi jiwa itu.
“ Itu untuk nenek tua tetanggaku yang hidup sebatang kara. Buat dia uang segitu dapat memperpanjang hidupnya selama sebulan”.
“ Lakukan! Ambil ini kalau kau bisa”, aku menyeringai puas. Kubuka pintu taksi yang berhenti tepat di depanku.
“ Kumohon...”
Tapi aku tidak peduli. Aku sebutkan alamat tadi. Si sopir mengerti dan langsung menginjak gas mobilnya.
“Kejam...”
“Aku tidak peduli. Bukan urusanku.”
Setengah jam kemudian mobil itu berhenti dan uang di tanganku beralih. Aku termangu sejenak.
“ Masuk ke gang rumahku ada di dalam gang ini.”
Aku menuruti. Aku melangkah ke gang yang agak becek itu. Beberapa genangan air kecoklatan, agak sedikit menghambat kerja kakiku.
“ Paman....” satu suara anak kecil mengoyak gendang telingaku.
Aku menengok ke arah sumber suara.
“ Namanya Alit anak tetanggaku lucu kan dia...”
Jiwa itu ingin membuat bibir ini tersenyum. Tapi aku mengambil alih, dari dulu aku paling tidak suka dengan anak kecil.
Ketika anak tiga tahunan itu mendekat aku mendengus. Tatapanku tajam ke arahnya.
Anak kecil itu bergerak mundur. Ia jadi ragu. Tangannya yang terbuka minta dipeluk perlahan jatuh.
“ Pergi...” aku menggeram kasar.
“ Mama......” anak itu berlari ketakutan. Aku puas.
“ Keterlaluan... “ jiwa itu mengeluh pelan.
“ Mana rumahmu?” aku tidak peduli dengan jiwa itu.
“ Cat kuning.”
Aku mendorong pintu, ternyata tidak dikunci.
“ Oh, sudah pulang ya Dik. Kok tidak mengucapkan salam?” satu suara mengagetkanku saat aku sedang sibuk memperhatikan isi rumah yang kumasuki ini.
“ Itu ibuku, hampiri dia cium tangannya,” Jiwa itu memerintah.
“ Iya bu seperti ibu lihat aku sudah pulang. Aku istirahat dulu bu. Capek.” Aku meninggalkan wanita setengah baya yang masih terperangah itu.
“ Mati saja kamu. Pergi dari ragaku...” jiwa itu meraung nada kepedihan terpancar jelas. Aku tersenyum puas.
“ Kenapa? Ada masalah. “ aku menyeringai dan membaringkan tubuh di atas tempat tidur.
“ Nak, sudah waktunya shalat Ashar. Ayo shalat dulu.” Wajah perempuan itu muncul dari balik pintu.
“ Aku capek bu. Pergi!!!” aku mendengus marah. Tubuh ini. Raga ini memang masih lemah. Dan ingin diistirahatkan.
“ Astagfirullah, nak ada apa dengan kamu.” Perempuan itu mengeluh tertahan. Tadinya ia akan bergerak masuk. Tapi saat aku memegang vas bunga yang kebetulan ada di samping tempat tidur ia tersurut mundur dan menghilang.
Jiwa yang lain itu mengerang antara marah dan penyesalan.
“ Aku mohon izinkan aku shalat....” jiwa itu setengah meratap.
“ Shalat! Apa itu shalat? Memangnya dengan shalat itu membuat kamu kaya? Membuat kamu bahagia?”
“ Itu sudah fitrah kita sebagai manusia. Perintahnya sangat jelas ada di dalam surat Al baqarah 233; ‘ Peliharalah semua shalat kalian dan peliharalah shalat wutsa (ashar). Berdirilah untuk Allah dalam shalatmu dengan khusu.’ Rasulullah dalam salah satu hadist nya bersabda;’ Shalat adalah tiang agama, barang siapa mengerjakan shalat, berarti ia menegakkan agama dan barang siapa yang meninggalkannya berarti ia maruntuhkan agama.’ Kamu Islam kan?”
“Iya waktu aku masih punya raga aku memang Islam. Tapi aku tidak shalat atau ibadah lainnya. Islam hanya membebani kita dengan sejumlah aturan. Tidak boleh ini tidak boleh itu. Aku tidak percaya pada Tuhan. Tuhanku adalah uang dan kenikmatan.”
“ Astagfirullah....”
“ Kenapa? Iri dengan kehidupanku. Karena aku bisa dan kamu tidak...”
Aku tahu jiwa itu ingin membalas kata-kataku. Tapi tiba-tiba ia bergerak mundur. Menjauh ke sisi yang lain.
“ Izinkan aku shalat.....” ia meratap pelan.
“ Tidak!!!!” aku membentak dan memejamkan mataku mengikuti keinginan raga yang disekap oleh lelah ini.
Entah karena capek atau mungkin karena tubuh ini masih lemah, aku tertidur dan terbangun keesokan harinya, jam setengah enam. Perutku keroncongan seharian kemarin tidak terisi. Aku melangkah ke ruang makan.
“ Ibu.... aku ingin makan...” aku berteriak, dulu teriakan ini aku tujukan untuk pembantuku. Ada sensasi tersendiri bisa berteriak seperti itu lagi.
‘Iya nak, itu ada di meja makan,” tergopoh-gopoh perempuan setengah baya itu menghampiriku. Membuka tutup makanan. Nasi dan tempe. Emosiku tersulut. Hampir saja makanan itu aku lemparkan ke perempuan itu, namun perutku yang keroncongan mencegahku. Aku duduk dengan kesal.
Perempuan itu jelas melihat raut mukaku,ia beranjak pergi dan sayup-sayup kudengar suara tangis tertahan.
Aku mulai memasukan nasi dan tempe dengan kecepatan tinggi. Jiwa yang satu lemah di sudut yang lain. Aku bisa merasakan kegetirannya. Jika ia punya air mata, tentu air mata itu akan meleleh. Aku bergeming, aku tak peduli.
Aku mengenakan seragam dan menuju sekolah tempat kerjaku yang ternyata letaknya tidak terlalu jauh.
“ Kemarin bagaimana ceritanya kok kamu bisa ada di rumah sakit?” aku memecah kekosongan di antara kami.
“ Aku tertabrak....”
“ Orang rumah tidak ada yang tahu?”
“ Sepertinya tidak, kamu juga lihat reaksi ibuku kan? Sepertinya aku tidak lama di rumah sakit sampai kamu kemudian datang.....”
“ Ini tempat kerja kamu ya....” kami telah sampai di depan sebuah bangunan sekolah.
“ Iya, jangan permalukan aku di depan anak-anak...”
“ Iya...” aku menjawab pendek suasana hatiku sedang enak dan aku tidak sedang ingin berbantahan.
Ternyata Riyadi Sidik sosok guru muda yang cerdas, pikirannya cemerlang. Saat mengajar, terlihat anak-anak begitu antusias. Ketika beberapa murid bertanya yang pertanyaannya aku golongkan termasuk sulit. Ia dengan lugas dan dengan bahasa yang mudah dimengerti ia memaparkan jawabannya. Beberapa saat akulah yang berdiri di sudut ruang di antara kami. Aku membiarkan sedikit kebebasan ia rasakan. Dan ia pun seolah tidak menyadari ada aku yang berbagi ruang dengannya. Totalitasnya pada pekerjaan membuat aku terkagum-kagum.
Saat bel berdentang dan anak-anak telah keluar dari kelas. Ia baru menyadari keberadaanku.
“ Terimakasih ya tadi kamu telah memberiku kebebasan...”
“ Salut...” aku mendekat.
“ Salut kenapa?” aku membiarkan ia membereskan buku-bukunya.
“ Totalitas kamu. Kecemerlangan kamu...”
“ Biasa saja jangan terlalu memuji. Seperti yang pernah disabdakan oleh Nabi; ‘bahaya dari ilmu adalah kesombongan’ dan aku tidak mau termasuk golongan orang sombong,pujianmu hanya akan melenakanku saja.”
Aku mulai mengambil alih kendali, ia tersurut ke sudut yang lain.
Terdengar suara adzan berkumandang. Aku melirik ke arahnya. Menunggu responnya. Ia pasrah namun tetap berusaha.
“ Izinkan aku shalat... kemarin aku tidak shalat Asar, Maghrib dan Isya. Hari ini pun aku telah ketinggalan shalat Subuh...”
“Mmmm baiklah...” aku melangkahkan kaki.
“ Mushola di sebelah kanan....” ia memberitahuku.
“ Jangan masuk langsung ke mushola kita wudhu dulu.”
“ Wudhu?”
“ Iya mensucikan diri dulu. Kita akan menghadap zat yang Maha Suci tentunya kita harus dalam keadaan suci agar pantas menghadap Nya. “
Aku melepaskan kendali karena tidak tahu apa itu wudhu dan bagaimana langkah-langkahnya. Dengan mantap ia mendekati kran air dan membukanya...
Membasuh kedua tangannya.
Berkumur tiga kali.
Membersihkan lubang hidung.
Membasuh muka.
Membasuh tangan sampai ke siku.
Mengusap kepala.
Mengusap telinga.
Membasuh kedua kaki sampai ke mata kaki.
Sepertinya urutannya sudah selesai, ia menengadahkan tangan berdoa. Ia melangkah masuk ke mushola dan menghamparkan sajadah. Aku memberinya kebebasan penuh, aku beranjak ke sisi yang lain. Ia memulai ritual ibadahnya. Dan saat ia sujud. Saat ia menempelkan keningnya di kain sajadah, aku terenyuh. Emosiku berbuncah. Entah perasaan apa yang menggelora di hatiku. Aneh. Antara kepasrahan yang dalam, kesedihan , ketakutan, kedamaian....
Air mata berlinang di sudut mata guru muda itu.
“ Kamu merasakan apa yang aku rasakan?”
“ Iya tapi aku tidak tahu perasaan apa ini.”
“ Berarti masih ada iman di diri kamu.”
“ Tapi semuanya sudah terlambat. Aku kan sudah mati”
“ Insya Allah tidak,mungkin hal inilah yang membuat kamu jadi jiwa pengelana.”
“ Terus aku harus bagaimana?”
“ Islam tidak pernah memaksa. Tapi kalau kamu ingin kedamaian masuklah ke dalam Islam yang hakiki...”
“ Caranya?”
“ Bahwa kamu yakin hanya Allah lah tuhanmu dan Muhammad utusan Nya”
“ Iya aku yakin Islam sebagai agamaku dan yakin dua hal itu Allah dan Muhammad”
“ Tidak merasa terpaksa kan?”
“ Iya aku iklas.”
“ Tahu kalimat Syahadat?”
“ Waktu SD aku tahu tapi sekarang...”
“ Kamu ikuti kata kata aku ya...’Asyhadu an-laa ilaaha illallah, wa-asyhadu anna muhammadan rasuulullah.”
Saat aku selesai mengikuti kata-kata itu kedamaian luar biasa menyelimuti jiwaku , perlahan jiwaku melayang meninggalkan guru muda itu, meninggalkan mushola kecil itu. Meninggalkan dunia fana ini....


Kuningan , 5 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar