Senin, 12 April 2010

DEKI

Namanya Deki.

Anak yang culun banget.

Rambut mengkilap, tersisir rapi belah pinggir.

Gigi maju ke depan.

Plus kacamata bulat tebal.

Sejumlah buku selalu berada di dekapannya.

Berjalan terbungkuk-bungkuk dan grogian.

Inilah yang jadi topik sentral di kantin sekolah SMA Nusa Bangsa, khususnya genk Chantix, genk yang dibentuk oleh tiga cewek cantik, seksi, modis en tajir.

“ Aku traktir kamu jalan-jalan ke Singapura kalo kamu bisa ngegebet tuch anak, “ tantang Bella.

“ Aku yang traktir shopingnya, “ Inggrid ngomporin.

Lidia tertegun. Pancingan kawan-kawannya itu sama sekali tak menarik baginya. Singapura sudah terlalu biasa, nyaris tiap akhir pekan ia nemenin mamanya shoping. Yang jadi masalah adalah taruhannya. Mana mungkin ia bisa naklukin si kutu buku itu. Terus malunya pasti gak ketulungan kalo jalan ma si culun itu. “ Oh Tuhan kok ada ya makhluk kayak gitu di dunia ini.”

Lidia mendesah. Berat….

Namun imagenya sebagai playgirl yang mampu naklukin siapapun menghapus keraguan itu.

OK deh,” ucapnya antusias.

“ Serius nich…” Bella dan Inggrid terperangah sesaat pandangan keduanya beradu.

“ Lidia gitu lho…” ucap Lidia enteng dan ngeloyor pergi.

“ Woi bayarin dulu…” teriak Inggrid.

“ Dari elo dulu …”

Inggrid garuk-garuk kepala.

“ Lu yakin dia bakal bisa?” Bella berbisik dan melihat sekeliling seakan takut ada yang ngawasin.

“ Dia gak bakalan berhasil. Lidia akan kena batunya untuk kedua kalinya.”

Di antara keduanya seakan ada tayangan ulang, saat Lidia gagal total ketika ngedeketin cowok bernama Andre. Cowok paling populer di sekolah. Jago basket, atletis, ganteng , anak seorang pengusaha sukses. Cowok yang secara misterius hilang dari kehidupan mereka.

***

Lidia memarkir mobilnya dengan hati-hati. Ia belum terlalu lancar kalau soal parkir. Pot bunga besar di pekarangan rumahnya pernah jadi korban, disenggol pantat mobilnya. Tong sampah di sebuah mall jungkir balik di cium moncong sedan mewah miliknya ini. Ia keluar, dan melangkah tenggorokannya benar-benar kering. Dan restoran yang kini di masukinya menawarkan sejumlah minuman favoritnya. Baru pertama kali ia masuk ke sini. Nuansanya bener-bener beda sama tempat makan lainnya. Dinding ruang makan dan dapur di batasi oleh aquarium berukuran besar. Beberapa ekor ikan hiu berenang anggun. Kok baru kali ini ya ia tahu.

Lidia mengambil tempat di pinggir kiri pintu masuk sehingga posisinya tepat di depan aquarium itu. Sejumlah orang berpakaian putih bertopi tinggi yang juga berwarna putih tampak lalu lalang.

Dapur yang rapi dan bersih. Lidia menilai dalam hati.

“ Mau pesen apa mbak, “ satu suara menyapanya dari belakang, berusaha terdengar sopan dan ramah, namun nada kegugupan tidak bisa tersembunyikan. Lidia ngerasa mengenal suara ini. Ia menoleh.

Deki!

Ia terpekik dalam hati.

“ Mau pesen apa mbak?”

“ Gile banget! nich anak kayaknya gak ngenalin gue, cewek terpopuler SMA Nusa Bangsa. Kuper abis nich anak..” ucap Lidia dalam hati.

“ Bagaimana kalau ice cream tiga rasa dan pudding strawberry, “ jawab Lidia sambil ngelirik gambar besar di atas petugas kasir.

“ Yang lain?” masih terdengar gemeteran.

Kayaknya itu aja deh.”

Lidia memandang kepergian pelayan itu heran juga bagaimana pemilik resto itu mempekerjakan orang kayak Deki. Bisa bangkrut lama-lama…

“ Silahkan mbak..” ucap si pelayan sambil meletakkan pesanan Lidia.

“ Bisa kita bicara?” Lidia memberi gerakan menyuruh Deki duduk.

“ Maaf mbak, saya lagi kerja.”

“ Ya udah. Cuma dua pertanyaan. Kamu Deki kan? Kamu kenal aku gak?”

“ Iya mbak saya Deki. Kenal mbak? Dimana? Emang mbak siapa.”

“ Oh my God!” pekik Lidia dalam hati.

“ Namaku Lidia. Kita satu sekolah.”

“ Oh… mbak saya ke belakang dulu masih ada pekerjaan.”

“ Oh Cuma oh.. reaksi seperti apa itu” batin Lidia ketika cowok culun itu beranjak pergi.

***

“ Bagaimana nich perkembangannya? “ ucap Inggrid sesaat setelah menelan mie yang tengah dikunyahnya.

Ada deh…” semburat kegembiraan terlukis di wajah Lidia.

“ Apa sich?” Bella mendesis penasaran.

Lidia hanya mengeleng sambil tersenyum-senyum.

Bella dan Inggrid saling melihat, tidak mengerti.

“ Cerita dong Lid…” ucap Inggrid setengah merengek.

“ Ga ah ntar ga seru kalo diceritain sekarang, “ Lidia melirik jam di tangannya. “ Aku pergi dulu ya..”

***

Lidia memelankan laju mobilnya, ia sedikit agak telat. Beberapa hari ini ia sengaja memata-matai Deki. Tempat kerjanya jelas ia sudah tahu walau tidak sengaja. Begitupun rumahnya kini ia sudah tahu. Rumah yang sangat sederhana di pinggiran ibukota. Kini rencananya adalah mengantarkan Deki pulang. PDKT… apalagi ia juga sempat bertemu dengan ibunya. Wanita setengah baya yang menyambung hidup dengan mencuci baju-baju tetangganya. Namun karena kini ia kehilangan penglihatan dalam suatu kecelakaan, dengan berat hati ia mengijinkan Deki bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran

“ Ki, ayo masuk….” Ucap Lidia sambil membuka pintu.

“ Ga ah. Malu…”

“ Ayolah ga pa pa. beneran lho…” Lidia masih berusaha.

“ Aku naik angkot saja, aku ngerasa gak pantas ada dalam mobil mewah kamu..”

Lidia menyerah, seribu kali meminta pun Deki tetep bakalan ga mau. Ia mengambil keputusan cepat di dalam hatinya

***

Kurang lebih lima menit semenjak mobil Lidia meninggalkannya, Deki sudah naik angkot ke arah rumahnya. Perjalanan hanya menempuh waktu 15 menit. Namun ia terperanjat kaget saat satu mobil yang tadi dilihatnya tampak parkir manis di jalan depan rumahnya.

“ Hai,’ gadis manis pemilik mobil itu menyapanya.

“ Kamu mau apa sich”

“ Aku… aku pengen jadi pacar kamu…” ucap Lidia spontan.

Jangan bercanda keterlaluan… aku masuk dulu.”

“ Ih cowok apa sich dia, bukannya seneng ditembak ma cewek kayak aku malah ngeloyor pergi…”

Lidia masuk ke mobilnya, namun ia gak berniat pergi. Ia menekan tombol on di DVD di dashboard. Lagu terbaru ADA BAND mengalun pelan. Sandaran joknya digeser ke belakang. Posisi ini hampir saja membuatnya tertidur, saat Deki tiba-tiba saja saja terlihat naik sebuah angkot. Lidia bertindak sigap, menarik porseneling dan memasukkan gigi. Ia membuntuti.

Angkot itu berhenti, Deki turun.

“Panti Asuhan Kasih Bunda…” Lidia menggumam “ ada urusan apa si culun ini ke panti asuhan?”

Kebetulan satu sosok anak kecil keluar dari pekarangan Panti Asuhan itu, Lidia keluar dan menyapanya.

“ De tau si cul.. eh Deki ga?”

“ Oh Kak Deki, pastinya dong kak. Emang kenapa?”

“ Ga, cuma pengen tau aja. Emang kenapa dia kesini?”

“ Tiap akhir pekan seperti sekarang kak Deki pasti ke sini. Ia ngasih-ngasih hadiah lho. Anto aja dapat kapal-kapalan,” jawab anak itu sambil mengerakkan pesawat mainan di tangannya di udara.

“ Oh…” mendadak keharuan menyelimuti hati Lidia. Ia melangkah pelan ke mobilnya. Dan meninggalkan tempat itu dengan sejuta perasaan yang berkecambuk di hatinya.

***

Lidia gelisah. Deki cowok culun itu ternyata berhati malaikat. Demi ibunya, ia rela bekerja sebagai pelayan. Ia juga rela berbagi dengan anak-anak yang kebahagiaannya terampas oleh takdir. Ia menatap langit-langit kamarnya. Berbeda sekali dengan dirinya yang begitu tidak pedulian dengan keadaan orange lain. Hanya mementingkan kesenangannya sendiri. Terlintas beberapa wajah di benaknya. Ibunya , ayahnya, Inggrid, Bella, Deki dan ibunya Deki. Betapa berbedanya mereka. Kaya - miskin. Kesenangan - kepedulian.

Sosok culun itu mengganggu pikirannya. Hatinya. Perlahan ia jatuh cinta dengan sosok culun itu. Jatuh cinta karena kagum. Ia mencoba mengingkari tapi ga bisa. Ia bertekuk lutut di altar cinta.

***

“ Aku harus bagaimana nich Bay…aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi dengan keadaan ini. Aku memang iklas membantu bu Aisyah dan anak-anak di panti. Tapi Lidia… dia terus membuntuti aku. Mengawasi aku. Lama-lama akan terbongkar juga apa yang aku lakukan selama ini.”

“ Kamu harus tetap jalani ini kawan… kamu sudah bersumpah tiga bulan ini untuk menjalani kehidupan kamu sekarang sebagai balasan kamu untuk kebaikan yang bu Aisyah lakukan terhadap kamu.”

***

Tiga bulan lalu…

Andre duduk termenung di hadapan sosok yang sedang terbaring berselimut putih. Wanita ini baru saja kehilangan penglihatannya, untuk dirinya. Untuk seorang anak bernama Andre. Bukan hanya penglihatan, ia juga kehilangan anak satu-satunya. Yang usianya tidak jauh berbeda dengan andre.

Deki…” wanita itu memanggil pelan.

“ Iya bu. Deki ada di sini. “ Andre mengulurkan tangan. Hatinya pedih. Tangannya digenggam pelan.

Ada apa nak, kamu sedih ya dengan keadaan ibu. Sekarang ibu buta.”

“ Kenapa ibu harus menolong anak itu. Kenal pun kita tidak.”

“ Sudah kewajiban kita untuk menolong sesama. Kalau pun sekarang ibu buta itu bukan kesalahnya. Ini adalah takdir.”

“ Ibu….” Andre tak bisa menahan perasaannya tangisnya meledak. Tangan wanita itu digenggamnya dan jadi tumpuan tumpahan air matanya. Air matanya deras membasahi tangan keriput wanita itu.

“ Ya Tuhan kenapa ini harus terjadi. Kenapa tak kau biarkan saja hambamu ini yang mati.” Andre menjerit dalam hati.

Terlintas di bayangannya. Saat dirinya keluar dari sebuah mall dan menuju parkiran ke tempat mobilnya berada. Saat sebuah motor ugal-ugalan muncul tak terduga, ibu inilah yang mendorong dirinya hingga selamat. Namun ibu itu malah jatuh terbentur dengan keras ke trotoar. Anaknya yang sedang membeli nasi di seberang dengan panik menyeberang dan… terpental tertabrak sebuah mobil yang melaju deras. Nyawanya terbang tak tertolong.

“ Mungkin sudah takdir ibu untuk buta…”

“ Tidak bu… Tidak… Deki akan bekerja. Mencari uang untuk biaya operasi ibu.”

“ Tapi nak itu tidak mungkin…”

“ Deki akan berusaha untuk ibu…”

***

“ Kamu ini siapa nak. Kok mau-maunya main ke rumah jelek ini?” bu Aisyah mengajukan tanya.

“ Nama saya Lidia bu. Saya teman sekolahnya Deki…” Ia mengangsurkan setangkai buah anggur ke tangan bu Aisyah.

“ Terimakasih nak, anak baik sekali. Tapi bagaimana Deki bisa sekolah, ia kan tukang semir di stasiun.

“ Baru sekitar tiga bulanan yang lalu ia masuk sekolah kami. Dan kami makin akrab” jelas yang kata-kata terakhir hanyalah sebuah harapan buat Lidia.

“ Mungkin ada yang menolongnya. Sejak tiga bulan ini juga ibu merasa ia begitu berubah. Dulu ia sedikit pemarah, tapi sekarang ia makin baik. Ia perhatian sekali dengan kondisi ibu. Mungkin kejadian tiga bulan yang lalu lah yang menyadarkannya. Pantas dari pagi sampai siang ia tidak ke rumah sama sekali rupanya ia sekolah. Alhamdulillah ya Allah.”

Lidia memegang tangan wanita setengah baya di depannya ini, memberi dukungan. Sebenarnya ia penasaran peristiwa apa yang terjadi tiga bulan yang lalu itu, tapi ia memendamnya. Ia takut akan melukai perasaan bu Aisyah.

“ Ibu saya pulang dulu,” ia mencium takzim tangan wanita itu, entah kenapa ia merasa dekat sekali dengan wanita ini. Sesaat kemudian mobilnya sudah meluncur menuju rumahnya.

***

“ Sekarang kita kok jarang-jarang ngumpul lagi sich Lid? Bener kan Bel?” ucap Inggrid memulai percakapan. Ia menoleh kearah Bella, mengharap dukungan.

“ Iya bener apa yang dikatakan Inggrid. Kamu sekarang ga pernah gabung lagi sama kita. Kenapa?” Bella menimpali.

“ Ada sesuatu yang luar biasa pada diri Deki ternyata…”

“ Awas ya jangan bilang kalau kamu jatuh cinta beneran sama dia,” ucap Bella.

“ Kenyataannya memang begitu..” Lidia pasrah.

“ Apa?” kedua sahabat baiknya itu terperangah. Tidak masuk akal Lidia cewek terpopuler di sekolah mereka jatuh cinta dengan anak baru yang culun abis. Beauty and the Beast. Pasangan yang bener-bener ga ada cocoknya sama sekali.

“ Iya bener. Ternyata ia baik banget. Ia bekerja untuk ibunya. Ia juga rela berbagi kebahagiaan dengan anak-anak panti asuhan.”

“ Tapi tetep aja Deki, anak Culun...” ucap Inggrid menyanggah.

“ Terserah kamu, kita tidak pernah akan punya pendapat yang sama. Sudut pandang kita berbeda. Aku pergi dulu ya masih ada urusan.” Lidia menghambur pergi beberapa lembar uang ia tinggalkan untuk membayar makanan yang meeka pesan.

“ Aneh...” keduanya mendesis kompak.

***

Lidia meluncur ke rumah bu Aisyah. Mengetuk pintu berkali-kali, namun pitu tak kunjung jua terbuka. Ia melangkah ke arah belakang, siapa tahu orang yang akan ia temuinya ada di belakang.

“ Cari siapa De?” satu suara agak mengagetkan Lidia.

“ Bu Aisyah Bu, tahu gak?”

“ Oh , bu Aisyah ke rumah sakit hari ini ia mau membuka perban matanya. “

“ Makasih bu...”

Lidia bergegas pergi dan rumah sakit kini tujuannya.

***

Di salah satu ruang rumah sakit. Tampak seorang ibu terbaring di tempat tidur. Ada anak muda di sampingnya dan seorang dokter.

“ Ibu sudah siap?”

“ Siap sekali dokter. Hari ini sudah lama saya nantikan. Saya sudah tidak sabar ingin melihat anak saya lagi...”

Deki terenyuh. Sejuta rasa berkecambuk di dadanya. Kalau bisa ia ingin terbang dari situ. Tapi semua harus di selesaikan. Dan ia bertekad hari inilah saatnya.

Pintu ruangan terbuka. Sosok gadis cantik mengucapkan slam dan masuk.

“ Siapa Deki?”

“ Lidia Bu..”

“ Oh nak Lidia terimakasih ya sudah menyempatkan diri ke sini. Ibu senang banget.”

Tangan bu Aisyah meraba-raba di udara. Lidia mengulurkan tangannnya.

“ Iya bu saya juga senang berada di sini...” Lidia melirik Deki ketika tangannya di genggam bu Aisyah.

“ Ayo dokter buka perban saya.”

“ Tapi ibu tetap tenang ya...” ucap dokter itu, dan beranjak ke belakang bu Aisyah. Sesaat kemudian perban itu sudah seluruhnya lepas dari kepala bu Aisyah.

“ Pelan-pelan bu,buka matanya...”

Bu Aisyah membuka matanya. Mengejap-kejapkan matanya. Sampai ia merasa terbiasa dengan cahaya yang kini bisa ia lihat. Penglihatannya telah kembali. Ia mengucapkan syukur.

Ia memandangi sosok anak lelaki itu.

“ Kamu siapa?”

Lidia terperangah. Masa bu Aisyah lupa dengan wajah anaknya.

“ Mungkin ini saatnya saya berterus terang...” Deki sesaat memandang bu Aisyah dan Lidia.

“ Sayalah Deki selama ini...”

“ Tapi kamu bukan anakku...”

“ Iya bu. Aku bukan anak ibu. Tapi selama tiga bulan ini aku merasa Ibulah ibu aku.” Kata-kata Deki mulai tersendat. Kesedihan mendesak-desak di kerongkongannya. Ia hampir tidak tahan. Ia bergerak ke arah rambutnya. Melepaskan wig yang selama ini ia pakai, membuka kacamatanya. Mencopot gigi tonggosnya.

Lidia terperangah. Andre! Cowok itu ternyata Andre!

“ Anakku mana” ucap lirih bu Aisyah.

“ Anak Ibu telah tiada nyawanya tidak tertolong saat peristiwa itu terjadi...” Andre menjelaskan dengan terbata-bata seolah ada segumpal kain di kerongkongannya.

“ Sini nak...” bu Aisyah membentangkan tangan di udara. Andre tak kuasa menahan lara yang membuncah di dadanya. Ia menghambur ke pelukan bu Aisyah.

“ Jangan bersedih anakku...” bisik pelan bu Aisyah menggetarkan gendang telinga Andre.

Lidia termangu, walau tidak begitu paham dengan apa yang terjadi. Ia bisa merasakan kesedihan yang mengambang di ruangan serba putih itu...

10 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar